Kamis, 22 Maret 2012

Realisasi Bantuan 20% dari Pemerintah Terhadap Pendidikan


A.Pendahuluan
 Pendidikan merupakan investasi jangka panjang.Pemerintah dan masyarakat hendaknya mempunyai pemahaman dan perhatian tinggi karena pendidikan mempunyai korelasi terhadap pembangunan sumber daya manusia sebagai cikal bakal penerus bangsa, terlebih dalam rangka mempersiapkan manusia sempurna dalam era kompetisi global. Dalam proses penyelenggaraan pendidikan biaya menjadi sorotan utama. Hal ini karena adanya benturan pemahaman kewajiban, tentang siapakah yang bertanggung jawab atasnya. Rakyat ataukah pemerintah. Permasalahan tersebut selalu muncul ke permukaan terlebih ketika memasuki tahun ajaran baru, dimana sekolah baik negeri maupun swasta memungut biaya dengan berbagai istilahnya, seperti Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP), bantuan pembangunan (uang gedung), dana sosial, pembelian seragam dan sebagainya. Dan mau tidak mau calon peserta didik (baca; wali murid) harus membayarnya kalau ingin anaknya sekolah.
Tentang kewajiban pemerintah dalam menyelenggarakan dan mendanai pendidikan telah digariskan dalam Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945, dan UU No 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas juga menyebutkan pemerintah pusat dan daerah wajib menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Akan tetapi realitas sangat bertolak belakang. Kebanyakan sekolah bahkan mayoritas memungut biaya pada peserta didiknya. Memang benar ada sekolah yang gratis (tidak membayar SPP), tapi prosentasenya sangat sedikit. Lebih ironis lagi adalah beberapa kasus korupsi yang melanda penyelenggara pendidikan seperti kasus penyediaan buku, pengelolaan dana dan sebagainya yang semakin menambah coretan hitam dunia pendidikan Indonesia.


B.Isi
Pada tahun 2009, pemerintah baru menganggarkan pendidikan 20% APBN setelah digugat oleh para guru melalui PGRI.Ade Suherman http://adesuherman.blogspot.com/2010/07/peranan-dana-bantuan-operasional.html menghimbau agar rakyat tidak dibodohi oleh iklan tidak bertanggungjawab karena secara tidak langsung pembuat iklan menghina perjuangan para guru melalui PGRI yang setia selama 3 tahun menggugat APBN yang tidak menganggarkan 20% pendidikan. Akuntabilitas pemerintah sebagai penyelenggara negara patut dipertanyakan. Bagaimanapun pemerintah dalam konteks kenegaraan Indonesia adalah pengambil kebijakan dan sekaligus pelaksananya. Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakatnya menjadi hal penting dan tidak bisa dinomorduakan. Dalam APBN dianggarkan 20 persen untuk alokasi pendidikan. Namun ternyata tidak juga dapat terealisasikan sepenuhnya. Lagi-lagi masalah korupsi yang menjadi penyakit akut dan berkepanjangan. Regulasi kebijakan publik seolah menjadi bumbu penyedap dan obat bius yang melenakan. Bukan merupakan solusi dan tanggung jawab kepemerintahannya. Karena regulasi kebijakan tersebut tidak dibarengi sikap profesional bahkan lebih kental nuansa politis.
Pada akhirnya rakyat sebagai elemen paling tinggi –karena pada dasarnya pemerintah adalah pembantu rakyat- dari sebuah sistem kenegaraan justru menjadi elemen yang paling terpojokkan. Elemen yang seharusnya mendapat posisi paling menguntungkan justru menjadi pihak yang sangat dirugikan. Kesejahteraan serta kebebasan untuk memperoleh hak pendidikan menjadi barang langka. Menurut Sholeh Fasthea (http://wordpress.com/Sholeh Fasthea),hal ini terjadi karena:
1.      Regulasi kebijakan publik masih dalam dataran konsep mentah. Lebih lanjut hal ini dikarenakan tidak adanya sosialisasi yang komprehensif terhadap masyarakat, sehingga masyarakat tidak memahami kebijakan-kebijakan tersebut.
2. Sumber rujukan pemerintah yang kurang valid. Demi langgengnya sebuah struktur pemerintahan, manipulasi data menjadi hal yang bukan tabu lagi. Sehingga para konseptor kebijakan pendidikan tidak mampu melihat akar-akar permasalahan yang sebenarnya. Tapi hanya melihat hasil laporan-laporan yang dibuat dalam bingkai kepentingan khusus, bahkan pesanan. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih banyaknya sekolah-sekolah di daerah yang jauh dari kemajuan.
3.  Tidak semua para konseptor kebijakan pendidikan adalah orang yang mempunyai kredibilitas di bidang pendidikan. Tetapi bisa saja mereka duduk di kursi tersebut atas dasar politik.
4. Pemerintah dan semua unsur penyelenggara pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas terhadap pelaksanaan kebijakan pendidikan. Masalah korupsi adalah indikasi dari hal ini. Dimana justru para penyelenggara pendidikan turut menjadi pemulung-pemulung besar terhadap dana yang seharusnya dibelanjakan dalam memperbaiki dunia pendidikan.
Abdul Kadir (http://eprints.undip.ac.id/16087/1/ABDUL_KADIR_KARDING)   menyatakan bahwa dalam pendidikan ada beberapa hal yang harus di perhatikan,antara lain:
a.                Kondisi kesejahteraan dan kualitas guru, khususnya di daerah-daerah terpencil, masih sangat memprihatinkan. Demikian pula penanganan masalah anak-anak putus sekolah, anak-anak keluarga miskin di pengungsian, serta anak-anak dalam situasi khusus belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
b.               Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya mengenai kewenangan bidang pendidikan, belum terealisasi sebagaimana mestinya sehingga pemerintah daerah belum merasa bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan di daerah.
Menurut http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6287/ Ada beberapa rekomendasi kepada kepala pemerintahan,yaitu presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Rekomendasi tersebut antara lain:


Rekomendasi kepada Presiden
1)                  Mengupayakan untuk meningkatkan anggaran pendidikan secara bertahap sampai mencapai jumlah minimum sebesar 20 persen sesuai dengan kondisi keuangan negara dari APBN dan APBD di luar anggaran gaji guru.

Pelaksanaan Rekomendasi

Pemerintah bersama-sama dengan DPR RI telah mengupayakan peningkatan anggaran pendidikan dari waktu ke waktu. Namun karena keterbatasan keuangan negara, maka upaya untuk meningkatkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Pada tahun anggaran 2003 Pemerintah telah mengalokasikan porsi terbesar dari Anggaran Pembangunan untuk Sektor Pendidikan yaitu sebesar 23,1 persen. Anggaran tersebut belum termasuk anggaran rutin yang digunakan untuk membiayai bidang pendidikan (2,9 persen dari total anggaran rutin) dan DAU yang sebagian besar digunakan untuk membiayai gaji pegawai negeri, sebagian besar diantaranya adalah guru.

Rekomendasi kepada Presiden

2)                  Memberi prioritas untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesejahteraan dan gaji guru/tenaga pengajar serta memenuhi kekurangan dan ketersebaran guru/tenaga pengajar, terutama untuk daerah terpencil.

Pelaksanaan Rekomendasi

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah telah melakukan penyempurnaan kurikulum sebagai acuan dalam proses belajar mengajar, sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi untuk jenjang pendidikan dasar dan menyusun standar kompetensi minimal yang perlu dikuasai oleh lulusan pada jenjang pendidikan dasar. Pada saat yang sama telah disusun pula kompetensi dan profesionalitas tenaga pengajar melalui pendidikan dan pelatihan, serta menerapkan standar minimal kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan serta penyediaan buku pelajaran bagi siswa dan buku pegangan guru.
Disamping itu guru memegang peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena itu mutu dan dedikasi guru merupakan kunci proses belajar-mengajar yang berkualitas pada setiap jenjang pendidikan. Pemerintah akan terus melaksanakan peningkatan mutu dan profesionalisme guru, antara lain melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, guna meningkatkan kesejahteraan guru/tenaga pengajar diberikan pula bantuan berupa insentif bagi guru, honor kelebihan jam mengajar, dan insentif kepada guru tidak tetap pada sekolah negeri dan swasta di semua jenjang pendidikan. Pada tahun anggaran 2003 kesejahteraan guru terus ditingkatkan dengan memberikan kenaikan tunjangan pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan kinerja guru dalam menjalankan tugas pokoknya. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru/tenaga kependidikan tidak saja dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi juga oleh Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di samping itu dilakukan pula pengembangan standar kompetensi profesional tenaga kependidikan dan peningkatan kapasitas institusi pengembangan pelatihan guru sesuai dengan spesialisasinya melalui pengembangan Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) dan Balai Penataran Guru (BPG).
Upaya untuk memenuhi kekurangan dan ketersebaran guru/tenaga pengajar terutama untuk daerah terpencil dilakukan melalui guru bantu. Pada tahun 2003 telah dilakukan rekruitmen sekitar 190.000 guru bantu yang tersebar di seluruh provinsi. Mekanisme pembiayaan yang dilakukan adalah pada tahun pertama  seluruh biaya disiapkan oleh pemerintah pusat dan pada tahun-tahun selanjutnya sebagian pembiayaan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. 

Rekomendasi kepada Presiden

3)                  Menanggulangi masalah anak-anak putus sekolah, anak-anak miskin dan terlantar, anak-anak di pengungsian, dan anak-anak dalam situasi khusus.

Pelaksanaan Rekomendasi

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak miskin dan terlantar dilakukan melalui pemberian beasiswa dan bantuan operasional pendidikan. Beasiswa ini diberikan agar siswa tetap dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah dan mencegah mereka putus sekolah dan bantuan operasional pendidikan dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah serta mengurangi biaya yang harus dibebankan pada peserta didik. Bagi anak-anak yang putus sekolah diupayakan untuk dikembalikan lagi ke sekolah namun bagi mereka yang tidak mungkin melanjutkan pendidikan di sekolah diberikan pelayanan melalui pendidikan luar sekolah yaitu Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SLTP dan Kejar Paket C setara SLTA. Untuk anak-anak di lokasi pengungsian dan anak-anak dalam situasi khusus dilakukan antara lain melalui pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif ini diberikan agar anak tetap dapat belajar, meskipun dengan sarana dan prasarana yang  terbatas.  Selain itu diberikan pula konseling untuk membantu anak menghilangkan ketakutan akibat konflik yang dialami.

Rekomendasi kepada Presiden

4)                  Mengupayakan agar otonomi dalam bidang pendidikan dapat direalisasikan sehingga peranan pemerintah daerah dalam pengembangan pendidikan menjadi nyata.

Pelaksanaan Rekomendasi

Upaya pemerintah dalam mewujudkan otonomi pendidikan terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Sejalan dengan semangat desentralisasi, sampai dengan tahun 2002, 318 Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota telah dibentuk dan hampir seluruh sekolah telah memiliki Komite Sekolah, yang merupakan cerminan awal terbentuknya suatu sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat. Wadah ini memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk turut menentukan dalam pengelolaan dan pembangunan pendidikan. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai badan yang mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat ditujukan untuk: (i) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarasa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan; (ii) meningkatkan tanggung jawab dan peranserta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan (iii) menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Adapun peran Dewan Pendidikan adalah (a) pemberi pertimbangan (advisory body) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan; (b) pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan; (c) pengontrol (controlling agency); dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan; dan (d) mediator antara pemerintah(eksekutif) dan DPR RI (legislatif) dengan masyarakat. Sedangkan peran Komite Sekolah adalah (a) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (b) pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (c) pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan (d) mediator antara pemerintah dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Untuk mewujudkan otonomi pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, pemerintah telah pula melakukan serangkaian sosialisasi agar pemerintah daerah lebih memahami pentingnya pendidikan untuk meningkatkan kualitas SDM daerah dan mempunyai komitmen yang lebih tinggi yang diwujudkan melalui penyediaan anggaran pendidikan dalam APBD sebagaimana yang diamanatkan dalam amandemen UUD 1945.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshidiq, menilai anggaran pendidikan yang disusun Pemerintah pada RAPBN 2007 melanggar konstitusi. "Itu sudah jelas kalau tidak 20% (dari APBN) berarti melanggar Undang-undang Dasar," kata Jimly kepada wartawan usai Peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka Jakarta.
Menurut Jimly,semua kegiatan penyelenggaraan negara harus berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang ada. "Meski sulit dan tidak enak melaksanakannya, segala ketentuan UUD tetap harus dipatuhi," ujarnya.[1]
Besarnya biaya pendidikan yang bersumber dari pemerintah ditentukan berdasarkan kebijakan keuangan pemerintah di tingkat pusat dan daerah setelah mempertimbangkan skala prioritas. [2] Pemerintah membantu sekolah secara finansial dalam beberapa cara, misalnya:
a.                                                       memberikan dana hibah untuk sekolah
b.                                                      membayar gaji guru
c.                   membantu proyek pencarian dana sekolah berupa penyediaan tenaga ahli, bahan, dan peralatan.
d.        membiayai proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah untuk daerah tertentu.
Pemerintah juga memberikan sumbangan tak langsung melalui:
a.                   pelatihan guru
b.                  pelatihan kepala sekolah
c.                   pelatihan pengawas
d.                  pelatihan tenaga kependidikan lainnya (pustakawan, petugas lab.)
e.                   penyiapan silabus
f.                   pelatihan penggunaan sarana prasarana
g.                  pemberian kesempatan pada guru untuk melanjutkan pendidikan.[3]
 Besarnya penerimaan dari masyarakat baik dari perorangan maupun lembaga, yayasan, berupa uang tunai, barang, hadiah, atau pinjaman bergantung pada kemampuan masyarakat setempat dalam memajukan dunia pendidikan. Besarnya dana yang diterima dari orang tua siswa berupa iuran BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan) dan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang langsung diterima sekolah didasarkan atas kemampuan orang tua siswa dan ditentukan oleh pemerintah atau yayasan. Sedangkan besarnya penerimaan dari sumber-sumber lain termasuk dalam golongan ini bantuan atau pinjaman dari luar negeri yang diperuntukkan bagi pendidikan, seperti bantuan UNICEF atau UNESCO.
Sedangkan sisi pengeluaran terdiri dari alokasi biaya pendidikan untuk setiap komponen yang harus dibiayai. Dari seluruh penerimaan biaya, sebagian dipergunakan untuk membiayai kegiatan administrasi, ketatausahaan., sarana prasarana pendidikan; dan sebagian diberikan kepada sekolah melalui beberapa saluran. [4]
Pimpinan Pendidikan (kepala sekolah) harus memeliki jiwa manajer yang baik dalam mengatur anggaran sekolah, antara pemasukan dan pengeluaran harus direncanakan secara baik dan matang. Perencanaan anggaran harus dilakukan bersama-sama antara pimpinan (kepala sekolah) beserta para guru, karyawan, komite sekolah maupun orang tua siswa. Hal ini dimaksudkan agar perencanaan lebih transparan dan semua pihak terlibat langsung dan mengetahui keadaan sekolah yang sebenarnya.
1.                  Anggaran Pendidikan dalam Kacamata UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003
a.                   UUD 1945 dan Amandemennya Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (4) berbunyi:
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan danb belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
b.                  Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 SISDIKNAS Bagian Keempat tentang Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 ayat (1) berbunyi:
Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimanl 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Resistensi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan komitmen setengah hati Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Indikasi ini terlihat jelas dalam rapat kerja pembahasan Rancangan APBN 2007. Dari sekitar Rp 495,9 triliun rencana alokasi, pendidikan hanya mendapatkan porsi 10,3% atau sekitar Rp 51,3 triliun. Memang secara keseluruhan anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari tahun 2006, yang sekitar Rp 43,3 triliun. Tapi kenaikannya sangat kecil, kurang dari 2% saja. [5]
Menurut Prof Ki Supriyoko, besarnya anggaran pendidikan di Negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di Dunia.
Kalau kita mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita lebih jelek tidak saja dari Negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari Negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brisilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari Negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya.[6]
1. Alasan Pemerintah belum Merealisasikan Anggaran Pendidikan 20% dari RAPBN/RAPBD Tahun 2007.
Ada dua alasan pokok yang dikemukan oleh pemerintah, yaitu:
a.  Alasan Normatif (Penjelasan UU Sisdiknas Pasal 29 ayat 1)
Dalam penjelasan UU Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) dijelaskan bahwa:  Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap.
Menurut penjelasan UU tersebut, pemenuhan anggaran pendidikan tidak langsung 20% dari APBN/APBD tapi dilakukan secara tahap demi tahap. Tapi, apakah penjelas ini bisa dijadikan hukum untuk me-nasikh (menghapus) Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas 2003, atau sebagai penundaan sementara karena pemerintah memiliki pertimbangan lain.
Dikatakan dalam website Suparmanfisika.blogspot.com, Jumat, 20 Oktober 2005 bahwa: Adanya penjelasan pasal ini menjadi alasan bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk tidak memenuhi 20% anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD. Hal itu menurut Mahkamah Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Majelis menyatakan penjelasan pasal 49 ayat 1 tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat.
Soal pendanaan ini perlu diprioritaskan dalam pendidikan. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dikatakan,''Pendidikan di Indoensia sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi prioritas utama pembangunan di Indonesia yang perwujudannya antara lain adalah pemberian prioritas di bidang anggaran,''baca Jimly.[7]
b.         Alasan Soal Kemampuan Negara.
Faktor kemampuan negara dalam menghimpun pendapatan negara untuk pendidikan. Hal ini disampaikan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya di persidangan sebelumnya mengatakan bahwa: pendanaan pendidikan dilakukan sesuai Penjelasan pasal 49 ayat (1), yaitu secara bertahap. Hal itu dilakukan karena faktor kemampuan negara dalam menghimpun pendapatan negara yang tidak memungkinkan untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% .[8]
Dari dua alasan di atas, kita dapat menilai bahwa pemerintah masih setengah hati untuk merealisasikan anggaran pendidikan 20%. Pertama, hal ini terlihat dengan adanya penjelas Pasal 49 ayat (1) bahwa realisasi anggaran secara bertahap. Walaupun secara konstitusi, menurut Mahkamah Konstitusi penjelas Pasal 49 ayat (1) tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat dibandingkan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU Sisdiknas 2003 Pasal 49 ayat (1).Kedua, dengan alasan bahwa pemerintah tidak punya dana. Apakah saat membentuk undang-undang tentang anggaran pendidikan, pemerintah[9] tidak melihat kemamampuan negara saat itu, atau pembentukan UU tersebut  hanyalah slogan politik pemerintahan untuk menarik simpati masyarakat agar mendukung program kerjanya.
C. Kesimpulan
Secara tekstual, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa pemerintah merencanakan anggaran pendidikan sebesar 20 %, sebuah prosentase yang fantastis. Akan tetapi apakah RAPBN 2007 anggaran pendidikan 20% sudah terealisasi?ternyata belum.
Secara kontekstual, pemerintah mempunyai dua alasan pokok, kenapa anggaran pendidikan 20% belum terealisasi. Alasan pertama: Dalam penjelas Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa: Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Alasan kedua: Faktor kemampuan negara untuk merealisasikan anggaran tersebut.
Dilihat dari segi hukum, pernyataan Mahkamah Konstitusi lebih kuat karena didukung oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003, sedangkan kekuatan hukum pemerintah sangat lemah.
Dilihat dari segi realitas, alasan pemerintah karena belum mampu untuk merealisasikan anggaran pendidikan 20% dapat diterima, karena dana negara banyak terkuras untuk membantu para korban bencana alam, seperti lumpur Lapindo, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lain sebagainya.
D. Saran
Dari pemaparan di atas masalah yang paling fundamental untuk segera dipecahkan adalah masalah mental pemerintah (Penyelenggara pendidikan). Mental pemerintah yang korup menjadi sumber kekusutan yang tak pernah usai. Mental ini merambah dalam segala aspek pelaksanaan pendidikan yang pada akhirnya kewajiban negara sebagaimana terkandung dalam UUD dan UU Sisdiknas hanya menjadi nyanyian yang usang. Anggaran pendidikan terkuras habis, sisanya adalah keprihatinan yang terus menerus menjadi akar kebodohan bangsa. Ada beberapa jalan alternatif yang mungkin dapat dikembangkan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut di atas, diantaranya adalah:
1. Perombakan struktur penyelenggara pendidikan
Perombakan struktur penyelenggara pendidikan mutlak diperlukan. Perombakan ini diharapkan mampu membuat sebuah kebijakan pendidikan yang benar-benar realistis dan memasyarakat. Dengan senantiasa memperhatikan seluruh dimensi kehidupan umat manusia yang selalu berkembang seiring umur jaman yang makin tua ini. Birokrasi-birokrasi pendidikan yang tidak strategis tidak perlu dipertahankan. Termasuk pemberian sangsi yang tegas terhadap oknum pendidikan yang melakukan kecurangan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan.
2. Prioritas utama pendidikan
Pendidikan memang bukan satu-satunya permasalahan kehidupan dan kenegaraan. Namun begitu pendidikan selayaknya mendapat perhatian utama oleh pemerintah. Karena hanya dengan pendidikanlah sumber daya manusia dapat berkembang. Selama ini yang menjadi isu sentral pemerintah selalu berkutat di dunia politik, padahal masalah tersebut hanya akan menguntungkan kaum-kaum elit dan golongan tertentu. Sementara masyarakat awam dalam dunia politik hanya seolah menjadi wayang kulit yang dimainkan dalangnya. Apabila pertunjukan politik usai maka usai sudah masyarakat memainkan perannya. Sementara sang dalang politik dapat menikmati honornya untuk berfoya-foya. Maka seharusnya pemerintah memposisikan pendidikan menjadi masalah utama dan pertama untuk diperhatikan. Karena hanya dengan pendidikan juga perkembangan politik di negara ini dapat tumbuh dewasa, tidak seperti sekarang ini politik hanya menjadi kendaraan untuk meraup keuntungan dan kekayaan di tengah masyarakat yang melarat.
Pendidikan murah menjadi mimpi bagi kaum menengah ke bawah. Persoalan pendidikan juga merupakan persoalan kehidupan yang multikompleks. Sementara kesejahteraan masyarakat masih jauh api dari panggang. Lalu bagaimana mungkin masyarakat dapat mengenyam pendidikan kalau pendidikan yang berkualitas haruslah pendidikan yang mahal. Memang ukuran mahal dan murah menjadi sesuatu yang subjektif. Tapi kesubyektifitasan tersebut tetap ada tolok ukurnya. Melihat taraf hidup dan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih dibawah standar adalah sesuatu yang sangat obyektif bila dikatakan pendidikan di Indonesia mahal. Untuk ukuran SD saja kalau SD tersebut favorit (biasanya di perkotaan besar) SPP-nya sekitar RP 300.000, dengan alasan kualitas yang didukung oleh fasilitas baik tenaga pengajar maupun fasilitas layanannya. Padahal masih banyak masyarakat yang rata-rata pendapatannya antara Rp. 300.000-500.000. Tentu masyarakat dengan penghasilan seperti ini akan sangat keberatan untuk menyekolahkan anaknya. Maka solusinya adalah menyekolahkan anaknya di SD yang SPPnya lebih sedikit. Dan tentu kualitasnya pun sedikit (rendah). Disinilah persolan muncul. Pendidikan berkualitas identik dengan pendidikan mahal. Dan pendidikan mahal identik pula dengan pendidikan diskriminatif.
Peran pemerintah sangat strategis dalam posisi ini, yaitu bagaimana pemerataan pendidikan yang berkualitas dapat tercapai ke seluruh pelosok nusantara. Pendidikan berkualitas bukan hanya milik golongan tertentu dan akhirnya pun hanya sebagian golongan tertentu pula yang dapat menikmati kemajuan peradaban, sedangkan kaum bawah hanya akan tergilas dan menjadi budak-budak jaman. Sudah saatnya pendidikan murah dan berkualitas dapat dinikmati seluruh umat manusia Indonesia agar sumber daya manusia Indonesia juga berkembang sehingga demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat dapat segera terwujud.

Daftar Pustaka
Fattah. Nanang. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cetakan keempat.
____________. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: CV. Pustaka Bani Quraisy.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya.
http://adesuherman.blogspot.com/2010/07/peranan-dana-bantuan-operasional.html
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6287/
http://wordpress.com/Sholeh Fasthea
www. Antikorupsi.org
www. Freelist.org (15 Mei 2004).
www. Suparmanfisika.blogspot.com





[1]  www.tempointeraktif.com
[2] Nanang Fattah. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan…, hal.48
[3] Nanang Fattah. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)…, hal. 187-188
[4] Nanang Fattah. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan…, hal.48

[6] Ki Supriyoko. www. Freelist.org (15 Mei 2004).
[7] www. Suparmanfisika.blogspot.com
[8] www. Suparmanfisika.blogspot.com
[9] Dalam UUD 1945 Pasal 20 ayat (1) dan (2) bahwa:
(1). Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2). Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar