A.Pendahuluan
Pendidikan merupakan investasi jangka panjang.Pemerintah
dan masyarakat hendaknya mempunyai pemahaman dan perhatian tinggi karena
pendidikan mempunyai korelasi terhadap pembangunan sumber daya manusia sebagai
cikal bakal penerus bangsa, terlebih dalam rangka mempersiapkan
manusia sempurna dalam era kompetisi global. Dalam proses penyelenggaraan
pendidikan biaya menjadi sorotan utama. Hal ini karena adanya benturan pemahaman
kewajiban, tentang siapakah yang bertanggung jawab atasnya. Rakyat ataukah
pemerintah. Permasalahan tersebut selalu muncul ke permukaan terlebih ketika
memasuki tahun ajaran baru, dimana sekolah baik negeri maupun swasta memungut
biaya dengan berbagai istilahnya, seperti Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan
(SPP), bantuan pembangunan (uang gedung), dana sosial, pembelian seragam dan
sebagainya. Dan mau tidak mau calon peserta didik (baca; wali murid) harus
membayarnya kalau ingin anaknya sekolah.
Tentang kewajiban pemerintah dalam
menyelenggarakan dan mendanai pendidikan telah digariskan dalam Pasal 31
Ayat 4 UUD 1945, dan UU No 20/2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas juga menyebutkan pemerintah
pusat dan daerah wajib menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Akan tetapi realitas sangat
bertolak belakang. Kebanyakan sekolah bahkan mayoritas memungut biaya pada
peserta didiknya. Memang benar ada sekolah yang gratis (tidak membayar SPP),
tapi prosentasenya sangat sedikit. Lebih ironis lagi adalah beberapa kasus
korupsi yang melanda penyelenggara pendidikan seperti kasus penyediaan buku,
pengelolaan dana dan sebagainya yang semakin menambah coretan hitam dunia pendidikan
Indonesia.
B.Isi
Pada
tahun 2009, pemerintah baru menganggarkan pendidikan 20% APBN setelah digugat
oleh para guru melalui PGRI.Ade Suherman http://adesuherman.blogspot.com/2010/07/peranan-dana-bantuan-operasional.html menghimbau agar rakyat
tidak dibodohi oleh iklan tidak bertanggungjawab karena secara tidak langsung
pembuat iklan menghina perjuangan para guru melalui PGRI yang setia selama 3
tahun menggugat APBN yang tidak menganggarkan 20% pendidikan. Akuntabilitas
pemerintah sebagai penyelenggara negara patut dipertanyakan. Bagaimanapun
pemerintah dalam konteks kenegaraan Indonesia adalah pengambil kebijakan dan
sekaligus pelaksananya. Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakatnya menjadi
hal penting dan tidak bisa dinomorduakan. Dalam APBN dianggarkan 20 persen
untuk alokasi pendidikan. Namun ternyata tidak juga dapat terealisasikan
sepenuhnya. Lagi-lagi masalah korupsi yang menjadi penyakit akut dan
berkepanjangan. Regulasi kebijakan publik seolah menjadi bumbu penyedap dan
obat bius yang melenakan. Bukan merupakan solusi dan tanggung jawab
kepemerintahannya. Karena regulasi kebijakan tersebut tidak dibarengi sikap
profesional bahkan lebih kental nuansa politis.
Pada
akhirnya rakyat sebagai elemen paling tinggi –karena pada dasarnya pemerintah adalah
pembantu rakyat- dari sebuah sistem kenegaraan justru menjadi elemen yang
paling terpojokkan. Elemen yang seharusnya mendapat posisi paling menguntungkan
justru menjadi pihak yang sangat dirugikan. Kesejahteraan serta kebebasan untuk
memperoleh hak pendidikan menjadi barang langka. Menurut Sholeh Fasthea (http://wordpress.com/Sholeh Fasthea),hal ini terjadi karena:
1. Regulasi
kebijakan publik masih dalam dataran konsep mentah. Lebih lanjut hal ini
dikarenakan tidak adanya sosialisasi yang komprehensif terhadap masyarakat,
sehingga masyarakat tidak memahami kebijakan-kebijakan tersebut.
2. Sumber
rujukan pemerintah yang kurang valid. Demi langgengnya sebuah struktur
pemerintahan, manipulasi data menjadi hal yang bukan tabu lagi. Sehingga para
konseptor kebijakan pendidikan tidak mampu melihat akar-akar permasalahan yang
sebenarnya. Tapi hanya melihat hasil laporan-laporan yang dibuat dalam bingkai
kepentingan khusus, bahkan pesanan. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih
banyaknya sekolah-sekolah di daerah yang jauh dari kemajuan.
3. Tidak semua para konseptor
kebijakan pendidikan adalah orang yang mempunyai kredibilitas di bidang
pendidikan. Tetapi bisa saja mereka duduk di kursi tersebut atas dasar politik.
4. Pemerintah
dan semua unsur penyelenggara pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas terhadap
pelaksanaan kebijakan pendidikan. Masalah korupsi adalah indikasi dari hal ini.
Dimana justru para penyelenggara pendidikan turut menjadi pemulung-pemulung
besar terhadap dana yang seharusnya dibelanjakan dalam memperbaiki dunia
pendidikan.
Abdul Kadir (http://eprints.undip.ac.id/16087/1/ABDUL_KADIR_KARDING) menyatakan bahwa dalam pendidikan ada beberapa
hal yang harus di perhatikan,antara lain:
a.
Kondisi kesejahteraan dan kualitas guru,
khususnya di daerah-daerah terpencil, masih sangat memprihatinkan. Demikian
pula penanganan masalah anak-anak putus sekolah, anak-anak keluarga miskin di
pengungsian, serta anak-anak dalam situasi khusus belum mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh.
b.
Pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya mengenai kewenangan bidang pendidikan, belum
terealisasi sebagaimana mestinya sehingga pemerintah daerah belum merasa
bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan di daerah.
Menurut http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6287/ Ada beberapa rekomendasi kepada kepala
pemerintahan,yaitu presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Rekomendasi tersebut
antara lain:
Rekomendasi
kepada Presiden
1)
Mengupayakan untuk meningkatkan anggaran
pendidikan secara bertahap sampai mencapai jumlah minimum sebesar 20 persen
sesuai dengan kondisi keuangan negara dari APBN dan APBD di luar anggaran gaji
guru.
Pelaksanaan Rekomendasi
Pemerintah bersama-sama dengan DPR RI telah
mengupayakan peningkatan anggaran pendidikan dari waktu ke waktu. Namun karena
keterbatasan keuangan negara, maka upaya untuk meningkatkan anggaran pendidikan
sebesar 20 persen belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Pada tahun anggaran 2003
Pemerintah telah mengalokasikan porsi terbesar dari Anggaran Pembangunan untuk
Sektor Pendidikan yaitu sebesar 23,1 persen. Anggaran tersebut belum termasuk
anggaran rutin yang digunakan untuk membiayai bidang pendidikan (2,9 persen
dari total anggaran rutin) dan DAU yang sebagian besar digunakan untuk
membiayai gaji pegawai negeri, sebagian besar diantaranya adalah guru.
Rekomendasi kepada Presiden
2)
Memberi prioritas untuk meningkatkan
kualitas pendidikan, kesejahteraan dan gaji guru/tenaga pengajar serta memenuhi
kekurangan dan ketersebaran guru/tenaga pengajar, terutama untuk daerah
terpencil.
Pelaksanaan Rekomendasi
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah telah melakukan
penyempurnaan kurikulum sebagai acuan dalam proses belajar mengajar,
sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi untuk jenjang pendidikan dasar dan
menyusun standar kompetensi minimal yang perlu dikuasai oleh lulusan pada
jenjang pendidikan dasar. Pada saat yang sama telah disusun pula kompetensi dan
profesionalitas tenaga pengajar melalui pendidikan dan pelatihan, serta
menerapkan standar minimal kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan serta
penyediaan buku pelajaran bagi siswa dan buku pegangan guru.
Disamping itu guru memegang
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karena
itu mutu dan dedikasi guru merupakan kunci proses belajar-mengajar yang
berkualitas pada setiap jenjang pendidikan. Pemerintah akan terus melaksanakan
peningkatan mutu dan profesionalisme guru, antara lain melalui berbagai
pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, guna meningkatkan kesejahteraan guru/tenaga
pengajar diberikan pula bantuan berupa insentif bagi guru, honor
kelebihan jam mengajar, dan insentif kepada guru tidak tetap pada sekolah
negeri dan swasta di semua jenjang pendidikan. Pada tahun anggaran 2003
kesejahteraan guru terus ditingkatkan dengan memberikan kenaikan tunjangan
pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan kinerja guru dalam
menjalankan tugas pokoknya. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru/tenaga
kependidikan tidak saja dilakukan oleh Pemerintah Pusat tetapi juga oleh
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di samping itu dilakukan pula
pengembangan standar kompetensi profesional tenaga kependidikan dan peningkatan
kapasitas institusi pengembangan pelatihan guru sesuai dengan spesialisasinya
melalui pengembangan Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) dan Balai
Penataran Guru (BPG).
Upaya untuk memenuhi kekurangan dan ketersebaran guru/tenaga pengajar terutama untuk
daerah terpencil dilakukan melalui guru bantu. Pada tahun 2003
telah dilakukan rekruitmen sekitar 190.000 guru bantu yang tersebar di seluruh
provinsi. Mekanisme pembiayaan yang dilakukan adalah pada tahun pertama seluruh biaya disiapkan oleh pemerintah pusat
dan pada tahun-tahun selanjutnya sebagian pembiayaan merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah.
Rekomendasi kepada Presiden
3)
Menanggulangi masalah anak-anak putus
sekolah, anak-anak miskin dan terlantar, anak-anak di pengungsian, dan
anak-anak dalam situasi khusus.
Pelaksanaan Rekomendasi
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memberikan kesempatan belajar bagi anak-anak miskin dan terlantar dilakukan
melalui pemberian beasiswa dan bantuan operasional pendidikan. Beasiswa ini
diberikan agar siswa tetap dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah dan
mencegah mereka putus sekolah dan bantuan operasional pendidikan dimaksudkan
untuk menjaga kelangsungan proses belajar mengajar di sekolah serta mengurangi
biaya yang harus dibebankan pada peserta didik. Bagi anak-anak yang putus
sekolah diupayakan untuk dikembalikan lagi ke sekolah namun bagi mereka yang
tidak mungkin melanjutkan pendidikan di sekolah diberikan pelayanan melalui
pendidikan luar sekolah yaitu Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara
SLTP dan Kejar Paket C setara SLTA. Untuk anak-anak di lokasi pengungsian dan
anak-anak dalam situasi khusus dilakukan antara lain melalui pendidikan
alternatif. Pendidikan alternatif ini diberikan agar anak tetap dapat belajar,
meskipun dengan sarana dan prasarana yang
terbatas. Selain itu diberikan
pula konseling untuk membantu anak menghilangkan ketakutan akibat konflik yang
dialami.
Rekomendasi kepada Presiden
4)
Mengupayakan agar otonomi dalam bidang
pendidikan dapat direalisasikan sehingga peranan pemerintah daerah dalam
pengembangan pendidikan menjadi nyata.
Pelaksanaan Rekomendasi
Upaya
pemerintah dalam mewujudkan otonomi pendidikan terus dilanjutkan dan ditingkatkan.
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sampai dengan tahun 2002, 318 Dewan
Pendidikan di tingkat kabupaten/kota telah dibentuk dan hampir seluruh sekolah
telah memiliki Komite Sekolah, yang merupakan cerminan awal terbentuknya suatu
sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah dan masyarakat. Wadah ini
memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk turut menentukan dalam
pengelolaan dan pembangunan pendidikan. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
sebagai badan yang mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat ditujukan untuk:
(i) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarasa masyarakat dalam melahirkan
kebijakan dan program pendidikan; (ii) meningkatkan tanggung jawab dan
peranserta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
dan (iii) menciptakan suasana dan kondisi yang transparan, akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Adapun
peran Dewan Pendidikan adalah (a) pemberi pertimbangan (advisory body) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan; (b) pendukung (supporting
agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan; (c) pengontrol (controlling agency); dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan; dan (d) mediator antara
pemerintah(eksekutif) dan DPR RI (legislatif) dengan masyarakat. Sedangkan
peran Komite Sekolah adalah (a) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (b) pendukung baik yang
berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan; (c) pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan (d) mediator
antara pemerintah dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Untuk mewujudkan otonomi pendidikan pada
tingkat kabupaten/kota, pemerintah telah pula melakukan serangkaian sosialisasi
agar pemerintah daerah lebih memahami pentingnya pendidikan untuk meningkatkan
kualitas SDM daerah dan mempunyai komitmen yang lebih tinggi yang diwujudkan
melalui penyediaan anggaran pendidikan dalam APBD sebagaimana yang diamanatkan
dalam amandemen UUD 1945.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly
Asshidiq, menilai anggaran pendidikan yang disusun Pemerintah pada RAPBN 2007
melanggar konstitusi. "Itu sudah jelas kalau tidak 20% (dari APBN) berarti
melanggar Undang-undang Dasar," kata Jimly kepada wartawan usai Peringatan
Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka Jakarta.
Menurut Jimly,semua kegiatan penyelenggaraan negara harus
berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan yang ada. "Meski sulit
dan tidak enak melaksanakannya, segala ketentuan UUD tetap harus
dipatuhi," ujarnya.[1]
Besarnya biaya pendidikan yang bersumber dari pemerintah
ditentukan berdasarkan kebijakan keuangan pemerintah di tingkat pusat dan
daerah setelah mempertimbangkan skala prioritas. [2] Pemerintah membantu sekolah secara
finansial dalam beberapa cara, misalnya:
a.
memberikan
dana hibah untuk sekolah
b.
membayar
gaji guru
c.
membantu
proyek pencarian dana sekolah berupa penyediaan tenaga ahli, bahan, dan
peralatan.
d. membiayai proyek pembangunan dan
rehabilitasi sekolah untuk daerah tertentu.
Pemerintah juga memberikan
sumbangan tak langsung melalui:
a.
pelatihan guru
b.
pelatihan kepala sekolah
c.
pelatihan pengawas
d.
pelatihan tenaga
kependidikan lainnya (pustakawan, petugas lab.)
e.
penyiapan silabus
f.
pelatihan penggunaan sarana
prasarana
Besarnya penerimaan dari
masyarakat baik dari perorangan maupun lembaga, yayasan, berupa uang tunai,
barang, hadiah, atau pinjaman bergantung pada kemampuan masyarakat setempat
dalam memajukan dunia pendidikan. Besarnya dana yang diterima dari orang tua
siswa berupa iuran BP3 (Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan) dan SPP
(Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang langsung diterima sekolah didasarkan atas
kemampuan orang tua siswa dan ditentukan oleh pemerintah atau yayasan.
Sedangkan besarnya penerimaan dari sumber-sumber lain termasuk dalam golongan
ini bantuan atau pinjaman dari luar negeri yang diperuntukkan bagi pendidikan,
seperti bantuan UNICEF atau UNESCO.
Sedangkan sisi pengeluaran terdiri dari
alokasi biaya pendidikan untuk setiap komponen yang harus dibiayai. Dari
seluruh penerimaan biaya, sebagian dipergunakan untuk membiayai kegiatan
administrasi, ketatausahaan., sarana prasarana pendidikan; dan sebagian
diberikan kepada sekolah melalui beberapa saluran. [4]
Pimpinan Pendidikan (kepala sekolah)
harus memeliki jiwa manajer yang baik dalam mengatur anggaran sekolah, antara
pemasukan dan pengeluaran harus direncanakan secara baik dan matang.
Perencanaan anggaran harus dilakukan bersama-sama antara pimpinan (kepala
sekolah) beserta para guru, karyawan, komite sekolah maupun orang tua siswa.
Hal ini dimaksudkan agar perencanaan lebih transparan dan semua pihak terlibat
langsung dan mengetahui keadaan sekolah yang sebenarnya.
1.
Anggaran Pendidikan dalam
Kacamata UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003
a.
UUD 1945 dan Amandemennya
Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (4) berbunyi:
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan danb belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
b.
Undang-undang RI No. 20
Tahun 2003 SISDIKNAS Bagian Keempat tentang Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal
49 ayat (1) berbunyi:
Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) pada sektor pendidikan dan minimanl 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Resistensi
terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan komitmen setengah hati
Pemerintah terhadap dunia pendidikan. Indikasi ini terlihat jelas dalam rapat
kerja pembahasan Rancangan APBN 2007. Dari sekitar Rp 495,9 triliun rencana
alokasi, pendidikan hanya mendapatkan porsi 10,3% atau sekitar Rp 51,3
triliun. Memang secara keseluruhan anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari
tahun 2006, yang sekitar Rp 43,3 triliun. Tapi kenaikannya sangat kecil, kurang
dari 2% saja. [5]
Menurut
Prof Ki Supriyoko, besarnya anggaran pendidikan di Negara kita tidak saja
terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun
anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di Dunia.
Kalau
kita mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita
lebih jelek tidak saja dari Negara maju seperti Amerika Serikat, Australia,
Inggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari Negara berkembang lainnya, seperti
Malaysia, Thailand, Brisilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih
jelek dari Negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia,
Nepal, Congo, dan sebagainya.[6]
1. Alasan Pemerintah
belum Merealisasikan Anggaran Pendidikan 20% dari RAPBN/RAPBD Tahun 2007.
Ada dua alasan pokok yang dikemukan oleh
pemerintah, yaitu:
a.
Alasan Normatif (Penjelasan UU Sisdiknas Pasal 29 ayat 1)
Dalam penjelasan UU Sisdiknas Pasal 49 ayat
(1) dijelaskan bahwa: Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat
dilakukan secara bertahap.
Menurut penjelasan UU tersebut, pemenuhan
anggaran pendidikan tidak langsung 20% dari APBN/APBD tapi dilakukan secara
tahap demi tahap. Tapi, apakah penjelas ini bisa dijadikan hukum untuk me-nasikh (menghapus) Pasal 31 ayat (4) UUD
1945 dan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas 2003, atau sebagai penundaan sementara karena pemerintah memiliki pertimbangan lain.
Dikatakan dalam website Suparmanfisika.blogspot.com, Jumat, 20 Oktober 2005 bahwa: Adanya penjelasan pasal ini menjadi alasan
bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk tidak memenuhi 20%
anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD. Hal itu menurut Mahkamah Konstitusi
(MK) bertentangan dengan UUD 1945 sehingga Majelis menyatakan penjelasan pasal
49 ayat 1 tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat.
Soal pendanaan ini perlu diprioritaskan dalam pendidikan.
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dikatakan,''Pendidikan di Indoensia
sudah sangat tertinggal, sehingga sudah waktunya pendidikan harus menjadi
prioritas utama pembangunan di Indonesia yang perwujudannya antara lain adalah
pemberian prioritas di bidang anggaran,''baca Jimly.[7]
b. Alasan Soal Kemampuan Negara.
Faktor kemampuan negara dalam menghimpun
pendapatan negara untuk pendidikan. Hal ini disampaikan oleh DPR dalam
keterangan tertulisnya di persidangan sebelumnya mengatakan bahwa: pendanaan pendidikan dilakukan sesuai
Penjelasan pasal 49 ayat (1), yaitu secara bertahap. Hal itu dilakukan karena
faktor kemampuan negara dalam
menghimpun pendapatan negara yang tidak memungkinkan untuk memprioritaskan
anggaran pendidikan minimal 20% .[8]
Dari dua alasan di atas, kita dapat menilai
bahwa pemerintah masih setengah hati untuk merealisasikan anggaran pendidikan
20%. Pertama, hal ini terlihat dengan
adanya penjelas Pasal 49 ayat (1) bahwa realisasi anggaran secara bertahap. Walaupun secara konstitusi,
menurut Mahkamah Konstitusi penjelas Pasal 49 ayat (1) tidak mempunyai
ketentuan hukum yang mengikat dibandingkan dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan
UU Sisdiknas 2003 Pasal 49 ayat (1).Kedua,
dengan alasan bahwa pemerintah tidak punya dana. Apakah saat membentuk
undang-undang tentang anggaran pendidikan, pemerintah[9] tidak melihat kemamampuan negara saat itu,
atau pembentukan UU tersebut hanyalah slogan politik pemerintahan untuk
menarik simpati masyarakat agar mendukung program kerjanya.
C. Kesimpulan
Secara tekstual, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4)
dan UU Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa pemerintah merencanakan
anggaran pendidikan sebesar 20 %, sebuah prosentase yang fantastis. Akan tetapi
apakah RAPBN 2007 anggaran pendidikan 20% sudah terealisasi?ternyata belum.
Secara kontekstual, pemerintah mempunyai dua
alasan pokok, kenapa anggaran pendidikan 20% belum terealisasi. Alasan pertama: Dalam penjelas Pasal 49
ayat (1) disebutkan bahwa: Pemenuhan
pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Alasan kedua: Faktor kemampuan negara untuk merealisasikan anggaran
tersebut.
Dilihat dari segi hukum, pernyataan Mahkamah
Konstitusi lebih kuat karena didukung oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003,
sedangkan kekuatan hukum pemerintah sangat lemah.
Dilihat dari segi realitas, alasan pemerintah
karena belum mampu untuk
merealisasikan anggaran pendidikan 20% dapat diterima, karena dana negara
banyak terkuras untuk membantu para korban bencana alam, seperti lumpur
Lapindo, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lain sebagainya.
D. Saran
Dari pemaparan di atas masalah yang paling
fundamental untuk segera dipecahkan adalah masalah mental pemerintah (Penyelenggara
pendidikan). Mental pemerintah yang korup menjadi sumber kekusutan yang tak
pernah usai. Mental ini merambah dalam segala aspek pelaksanaan pendidikan
yang pada akhirnya kewajiban negara sebagaimana terkandung dalam UUD dan UU Sisdiknas
hanya menjadi nyanyian yang usang. Anggaran pendidikan terkuras habis, sisanya
adalah keprihatinan yang terus menerus menjadi akar kebodohan bangsa. Ada
beberapa jalan alternatif yang mungkin dapat dikembangkan dalam mengatasi
masalah-masalah tersebut di atas, diantaranya adalah:
1. Perombakan
struktur penyelenggara pendidikan
Perombakan struktur penyelenggara pendidikan
mutlak diperlukan. Perombakan ini diharapkan mampu membuat sebuah kebijakan
pendidikan yang benar-benar realistis dan memasyarakat. Dengan senantiasa
memperhatikan seluruh dimensi kehidupan umat manusia yang selalu berkembang
seiring umur jaman yang makin tua ini. Birokrasi-birokrasi pendidikan yang
tidak strategis tidak perlu dipertahankan. Termasuk pemberian sangsi yang tegas
terhadap oknum pendidikan yang melakukan kecurangan dalam praktek
penyelenggaraan pendidikan.
2. Prioritas
utama pendidikan
Pendidikan memang bukan satu-satunya
permasalahan kehidupan dan kenegaraan. Namun begitu pendidikan selayaknya
mendapat perhatian utama oleh pemerintah. Karena hanya
dengan pendidikanlah sumber daya manusia dapat berkembang. Selama ini yang
menjadi isu sentral pemerintah selalu berkutat di dunia politik, padahal
masalah tersebut hanya akan menguntungkan kaum-kaum elit dan golongan tertentu.
Sementara masyarakat awam dalam dunia politik hanya seolah menjadi wayang kulit
yang dimainkan dalangnya. Apabila pertunjukan politik usai maka usai sudah
masyarakat memainkan perannya. Sementara sang dalang politik dapat menikmati
honornya untuk berfoya-foya. Maka seharusnya pemerintah memposisikan
pendidikan menjadi masalah utama dan pertama untuk diperhatikan. Karena hanya
dengan pendidikan juga perkembangan politik di negara ini dapat tumbuh dewasa,
tidak seperti sekarang ini politik hanya menjadi kendaraan untuk meraup
keuntungan dan kekayaan di tengah masyarakat yang melarat.
Pendidikan murah menjadi mimpi bagi kaum
menengah ke bawah. Persoalan pendidikan juga merupakan persoalan kehidupan yang
multikompleks. Sementara kesejahteraan masyarakat masih jauh api dari panggang.
Lalu bagaimana mungkin masyarakat dapat mengenyam pendidikan kalau pendidikan
yang berkualitas haruslah pendidikan yang mahal. Memang ukuran mahal dan murah
menjadi sesuatu yang subjektif. Tapi kesubyektifitasan tersebut tetap ada tolok
ukurnya. Melihat taraf hidup dan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih
dibawah standar adalah sesuatu yang sangat obyektif bila dikatakan pendidikan
di Indonesia mahal. Untuk ukuran SD saja kalau SD tersebut favorit (biasanya di
perkotaan besar) SPP-nya sekitar RP 300.000, dengan alasan kualitas yang
didukung oleh fasilitas baik tenaga pengajar maupun fasilitas layanannya.
Padahal masih banyak masyarakat yang rata-rata pendapatannya antara Rp.
300.000-500.000. Tentu masyarakat dengan penghasilan seperti ini akan sangat
keberatan untuk menyekolahkan anaknya. Maka solusinya adalah menyekolahkan
anaknya di SD yang SPPnya lebih sedikit. Dan tentu kualitasnya pun sedikit
(rendah). Disinilah persolan muncul. Pendidikan berkualitas identik dengan
pendidikan mahal. Dan pendidikan mahal identik pula dengan pendidikan
diskriminatif.
Peran pemerintah sangat strategis dalam
posisi ini, yaitu bagaimana pemerataan pendidikan yang berkualitas dapat
tercapai ke seluruh pelosok nusantara. Pendidikan berkualitas bukan hanya milik
golongan tertentu dan akhirnya pun hanya sebagian golongan tertentu pula yang
dapat menikmati kemajuan peradaban, sedangkan kaum bawah hanya akan tergilas
dan menjadi budak-budak jaman. Sudah saatnya pendidikan murah dan berkualitas
dapat dinikmati seluruh umat manusia Indonesia agar sumber daya manusia
Indonesia juga berkembang sehingga demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat
dapat segera terwujud.
Daftar Pustaka
Fattah.
Nanang. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Cetakan keempat.
____________.
2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah.
Bandung: CV. Pustaka Bani Quraisy.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas
Undang-undang Dasar 1945 dan
Amandemennya.
http://adesuherman.blogspot.com/2010/07/peranan-dana-bantuan-operasional.html
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6287/
http://wordpress.com/Sholeh Fasthea
www. Antikorupsi.org
www. Freelist.org (15 Mei 2004).
www.
Suparmanfisika.blogspot.com
[1] www.tempointeraktif.com
[2]
Nanang Fattah. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan…, hal.48
[3] Nanang
Fattah. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)…, hal. 187-188
[4]
Nanang Fattah. 2006. Ekonomi dan Pembiayaan…, hal.48
[6] Ki
Supriyoko. www. Freelist.org (15 Mei 2004).
[7] www. Suparmanfisika.blogspot.com
[8] www. Suparmanfisika.blogspot.com
(1). Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2). Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar